Rabu, 25 Februari 2015

Pentingnya pendidikan orang tua

Seorang sahabat pernah berkata bahwa hasil yang berkualitas itu juga tumbuh dari bibit yang berkualitas. Dalam rumah tangga bisa disimpulkan bahwa anak yang berkualitas juga lahir dari ibu yang luar biasa, kenapa? karena ibu adalah “madrasatul ula lil aulad”, ibu adalah sekolah pertama untuk anaknya. Pelajaran pertama yang diterima anak berasal dari orang tua terutama ibunya, setelah itu baru merambah ke lingkungan keluarga. Pada umumnya saat anak mulai belajar bicara maka kata pertama yang terucap dari mulutnya adalah memanggil ibu. Semua ini wajar-wajar saja karena kurang lebih sembilan bulan lamanya bayi mendekam di rahim ibunya. Dia makan dari apa yang dimakan oleh ibunya, saat lahir pun dia akan dilayani sepenuhnya oleh ibu.

Seorang ibu yang baik bukan berarti yang namanya penuh deretan gelar akademik dengan fasilitas dunia yang seperti putri raja. Namun ibu yang baik adalah ibu yang sadar akan profesi dia sebagai ibu sekalipun tanpa gelar kebanggaan. Apa gunanya banyak gelar jika melupakan kewajiban terhadap anak, meskipun dengan dalih bahwa dia sibuk demi membahagiakan anaknya. Mengumpulkan harta dunia lalu lupa dengan diri yang sesungguhnya. Di samping gemerlapnya harta dunia ada hal paling penting yang dibutuhkan oleh anak, mereka butuh kasih sayang dan perhatian.

Jika ibu adalah sekolah pertama, maka ayah menjadi pendamping, penasehat bahkan sebagai pengajar juga di sekolah tersebut. Sampai kapan profesi mereka? Apakah sampai anak memasuki usia sekolah? Lalu profesi mereka berubah menjadi donatur bagi kelangsungan pendidikan anak atau malah berubah menjadi ibu kos tempat anak istirahat dan menginap sepulang sekolah?

Seharusnya jawaban untuk semua pertanyaan di atas hanya satu yaitu TIDAK, meskipun pada kenyataannya banyak yang kita jumpai seperti itu. Bahkan yang sangat tidak asing lagi saat pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah. Padahal pertemuan guru dengan anak di sekolah hanya empat jam per hari, serta satu guru untuk banyak anak bukan satu guru satu anak. Sesampainya di rumah anak sibuk dengan deretan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Sementara orang tua juga sibuk dengan profesi mereka dari pagi hingga sore hari. Saat pulang tubuh sudah lelah, yang terpikirkan hanya istirahat secepatnya karena besok pagi tugas sudah menanti. Kapan lagi waktu untuk anak? Tidak ada lagi, mereka sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya kabar si anak pun seakan tak sempat bagaimana mau membantu mereka belajar di rumah?

Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah faktor ekonomi ikut mempengaruhi? Jawab saya hanya “entahlah” saya pun tidak bisa memberikan jawaban pasti, biarlah nanti para pakarnya yang akan meneliti. Di kota-kota besar sering kita dengar bahwa kurangnya perhatian orang tua kepada anak bukan karena mereka orang yang tidak mampu tetapi karena mereka orang yang sibuk dengan karir mereka. Sementara di sini, di tempat aku mengabdi untuk setahun ke depan kurangnya perhatian orang tua kepada anak disebabkan karena mereka rata-rata keluarga yang kurang mampu. Orang tua harus bekerja banting tulang di sawah dan dikebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terkadang anak pun ikut ambil bagian untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang mungkin menurut sebagian kita itu terlalu berat untuk mereka.

Suatu hal yang membuat saya ingin menangis, saat dua hari berturut-turut siswa saya yang duduk di kelas enam SD tidak masuk sekolah. Saat saya coba bertanya kepada teman-temannya ternyata tidak ada yang tahu ke mana dia. Sebagai orang baru disini saya pun tidak tahu medan. Setelah siswaku kembali ke sekolah saya sempatkan berbicara dengan dia,”anah, kamu kemana nak kemaren gak masuk sekolah, kamu sudah kelas enam nak, sebentar lagi akan ujian nasional, berapa hari kamu gak masuk sekolah?”. Dia seakan mengelak dari, namun terus saya panggil dia hingga dia menjawab dengan agak takut-takut “abi ngasuh buk.. dua hari abi teu masuk sekolah…orang tua abi kuli buk”, entah mengapa saya begitu letih mendengar jawaban itu semua. Dia seorang anak laki-laki yang harus libur sekolah untuk mengasuh adiknya karena orang tuanya hanya buruh tani di sawah orang lain. Tenggorokan saya seakan tercekat, hingga hanya mampu berpesan “anah sudah kelas enam kan jadi bilangin sama orang tuanya anah mesti hadir terus ke sekolah ya nak”, setelah melihat anggukannya saya pun berlalu membawa perasaan yang tak menentu. saya tak tahu harus menyalahkan siapa, bahkan rasanya sangat ingin marah, tapi pada siapa?

Mengapa anak tidak bisa punya waktu belajar di rumah? Apakah begitu banyak tugas rumah tangga yang mesti mereka pikul? Atau malah mereka yang tidak mau belajar di rumah? Di satu sisi terkadang saya pun berfikir bahwa hal seperti ini tidak sepenuhnya kesalahan orang tua. Tak jarang bahkan orang tua yang penuh kesibukan masih meluangkan waktu untuk memperhatikan anak serta membantu mereka belajar dirumah. Tetapi sekarang masalahnya terletak pada anak tersebut, dia yang tidak mau di ajar oleh orang tuanya di rumah. Ketidak tegaan orang tua untuk memaksa anak belajar biasanya meluluhkan hati mereka.

Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh anak untuk mewadahi rasa malas mereka mengulang pelajaran di rumah. Jika di sekolah mereka menurut pada gurunya karena mereka tahu tidak akan gurunya mau memenuhi keinginannya untuk tidak belajar. Saat mereka tidak mau belajar maka guru punya taktik tersendiri membuat mereka kembali tekun belajar meski “terpaksa”. Sementara di rumah, saat anak merajuk ingin bermain maka orang tua dengan senang hati mempersilahkan. Kondisi ini juga menyebabkan pendidikan anak secara tidak langsung telah beralih menjadi tanggung jawab guru di sekolah. Masih mendingan jika orang tua menyediakan guru les privat untuk anak belajar di rumah, namun bagi yang tidak mampu, ya sudah cukup belajar di sekolah saja.

Sesungguhnya sesibuk apapun orang tua tanggung jawab mereka terhadap anak tidak pernah bisa diwakilkan kepada siapapun. Selama hayat masih dikandung badan selama itu juga kewajiban mereka masih tetap ada. Apalagi kita tahu bahwa tidak ada yang namanya mantan guru sebagaimana tak ada mantan murid. Sementara orang tua punya dua profesi utama, sebagai orang tua dan guru bagi anaknya, tidak akan pernah ada yang namanya mantan orang tua dan juga mantan guru. Maka sampai kapanpun kewajiban mereka atas profesi yang diamanahkan tetap harus ditunaikan. Tidak hanya sekadar materi tetapi moril pun dibutuhkan anak.

Kewajiban pemenuhan materi untuk anak mungkin bisa gugur saat mereka telah mampu hidup mandiri, namun hak mereka untuk perbaikan moral masih mereka butuhkan sepanjang hayat. Para orang tua yang budiman, bapak dan ibu generasi, mari kita kembali saling mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua. Dari tangan bapak dan ibu lah akan lahir para pewaris peradaban, yang akan melanjutkan masa depan bangsa dan agama kita. Mari kita dekap mereka, jaga mereka dan bentuk mereka menjadi manusia yang cerdas intelektual serta spiritualnya. Para bapak, selaku imam dalam rumah tangga maka akan dimintai tanggung jawabmu terhadap seluruh makmummu kelak. Salam dari kami anak-anak negeri.

Jumat, 20 Februari 2015

kenapa Allah Swt bertanya sampai 31 x dalam surat ar rahman ?

Ada yang istimewa dari Surat ar-Rahman yaitu adanya pengulang-ulangan ayat yang berbunyi: . Kalimat itu diulang sebanyak 31 kali dalam surah ar-Rahman.

Arti dari ayat ini adalah: "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? " Ungkapan ini ditujukan kepada bangsa jin dan manusia.

Apa gerangan hebatnya kalimat itu hingga Allah perlu mengulanginya sampai 31 kali? Setelah Allah menguraikan beberapa nikmat yang dianugerahkan pada kita, Allah selalu bertanya: "Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yg kamu dustakan?"

Mari perhatikan bahwa Allah menggunakan kata "DUSTA", bukan kata "INGKAR". Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yg Dia berikan kpd manusia itu tidak bisa diingkari keberadaannya.Dusta berarti menyembunyikan kebenaran, dusta sangat dekat dengan kesombongan yang acap tolak kebenaran dan menyepelekan hal lain kecuali dirinya.

Contoh sederhananya, kerapkah kala kita mendapat uang banyak, kita lalu pongah dan merasa bahwa itu akibat kerja keras kita?

Pula saat angkat toga raih gelar sarjana, munculkah ujub hati berbisik tokh ini karena otak kita yg cerdas? Saat giat semangat dalam sehat bugar jauh dari sakit, jumawa rasa ini telah sukses olah raga, krn diet yang dijaga, atau merasa akan selalu perkasa?

Segala nikmat yang dianugrahkanNya kita klaim murni usaha kita?. Tanpa sadar kita lupakan peranan Allah, kita sepelekan kehadiranNya di semua keberhasilan, lalu kita dustakan seakan nikmat itu semuanya datang tanpa izin Allah?

Maka nikmat Tuhan yg mana lagi yg kita dustakan? Janganlah alpa bahwa kenikmatan yang mengalir sejak lahir, ada Dia yg selalu hadir.

Harta, pasangan hidup, anak/cucu, kebun subur, perniagaan makmur, bahkan seteguk hirupan nafas pun ada peran RahmanNya. Ingatlah pula, semua nikmat itu akan ditanya di hari kiamat kelak. "Sungguh kamu pasti akan ditanya pada hari itu akan nikmat yg kamu peroleh saat ini" (At Takatsur: 8)

bacalah ayat dalam Surat Fushshilat [41]: 50, yang artinya: "Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang"

Kita adalah mahluk pelupa, dan Allah mengingatkan kita berulang-ulang ...maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Sudah siapkah kita menjawab dan mempertanggungjawabkannya ? "Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya" (An-Nahl: 18)

Tak patutkah kita bersyukur kepada-Nya? Ucapkan Alhamdulillah, stop mengeluh & jalani hidup berma'rifat ibadah ikhlas sebagai bagian dari rasa syukur kita.

"La in syakartum laa adziidanakum wa la'in kafartum inna azabi lasyadid" Sungguhjika (kamu) bersyukur pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU) maka sesungguhnya azab-KU akan sangat pedih". (QS. Ibrahim ayat 7)

Adab menyambut tamu

MENJADI tuan rumah, memang seharusnya memberikan istimewa pelayanan kepada tamunya. Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak sepantasnya dilakukan di luar batas kemampuannya.

Menghidangkan suguhan kepada tamu adalah hal yang mulia. Bahkan Rasul pun menganjurkan agar dapat mengistimewakan tamu walaupun hanya sekedar air putih sekalipun.

Saling berkunjung sesama kerabat, teman maupun sejawat merupakan kebiasaan yang tak bisa dihindari. Keinginan berkunjung dan dikunjungi selalu ada harapan. Demikianlah, suatu saat kita akan kedatangan tamu, baik diundang maupun tidak. Bahkan pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangat gencar.

Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati tamu. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus untuk menyambutnya, akan tetapi, juga dengan perbuatan yang menyenangkan. Misalnya dengan memberikan jamuan, meski hanya sekedarnya.

Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu, juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala dan balasan dari Allah pada hari Kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya,” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Menjamu tamu, merupakan sunnah Nabi Ibrahim. Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrahim Khalilur Rahman Alaihissalam. Rasulullah SAW menyatakan:

“Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrahim. (Al-Hadits)

Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, dititahkan untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif,” dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb,” (An-Nahl: 123)

Kemudian bagaimana cara Nabi Ibrahim alaihissalam menjamu tamu? Berikut ini, cara yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan: “Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu”, dan mari kita perhatikan satu-persatu.

1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.

2. Nabi Ibrahim Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: “Apakah kalian mau hidangan dari kami?”

3. Nabi Ibrahim Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu.
Dikatakan oleh Syaikh as-Sa’di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrahim Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.

4. Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi Ibrahim Alaihissallam kepada tamu-tamunya.

5. Menyediakan stok bahan di dalam rumah, sehingga beliau Alaihissallam tidak perlu membeli di pasar atau di tetangga.

6. Nabi Ibrahim Alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan memanggil, misalnya: “kemarilah, wahai para tamu”. Cara ini untuk lebih meringankan para tamu.

7. Nabi Ibrahim Alaihissallam melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk perbuatan yang tidak etis.

8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim Alaihissallam menawarkannya dengan lembut: “Sudikah kalian menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?” Beliau Alaihissalam tidak menggunakan nada perintah, seperti: “Ayo, makan”. Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.

Intinya, tuan rumah seharusnya memuliakan tamu, yaitu dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. ( yayasan Az-zuhri mrisi )

Kamis, 19 Februari 2015

Memohonkan ampun atas dosa anak

RASULULLAH SAW. menyampaikan informasi bahwa saudaranya, Nabi Yakub a.s pernah berkata kepada anak-anaknya, “Aku akan memohonkan ampun untuk kalian kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang,” (HR. Tirmidzi).

Kita sering memohon ampun kepada orang tua. Namun, apakah kita juga sering memohon ampunan untuk anak-anak kita? Apalagi, jika memintanya secara khusus seperti anak-anak Nabi Yakub a.s yang tertera dalam Al-Quran :

“Mereka berkata, ‘wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah,’” (QS. Yusuf ayat 97).

“Yaqub berkata, ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,’”(QS. Yusuf ayat 98).

Nabi Yakub a.s menyadarkan kita bahwa anak-anak sangat membutuhkan doa kita sebagai orang tuanya. Jangan sampai karena kesibukan mencari nafkah, kita melupakan hak mereka akan doa.

Jangan sampai karena terlalu sibuk mengejar urusan dunia, kita mengabaikan doa kita untuk sang buah hati. Karena pada zaman Rasulullah, ternyata mendoakan seorang anak telah menjadi tradisi.

Ketika ada seorang laki-laki datang membawa anaknya kepada Abu Darda r.a, dia berkata, “Anakku ini telah menghafal Al-Quran.” Beliau menjawab, “Ya Allah ampunilah dia, sesungguhnya orang yang menghafal Al-Quran adalah orang yang mendengarnya dan melaksanakannya.”

Senin, 09 Februari 2015

habib

Alhabib alwi bin ali bin muhammad bin husen al habsy
dan Habibana muhammad anis bin alwi bin ali bin muhammad bin husen Al habsy
anak dan cucu alhabib ali bin muhammad bin husen alhabsy

Kamis, 05 Februari 2015

Berbakti kepada orang tua

Ridhonya Orang Tua adalah Ridho-Nya Allah, Murkanya Orang Tua adalah Murka-Nya Allah

Sebagai seorang anak, sebaiknya kita selalu mengharap keridoan dari keduanya dan memenuhi perintah-perintahnya, sepanjang tidak untuk berbuat maksiat. Juga anak harus selalu mementingkan keduanya dengan mendahulukan keinginan – keinginannya dari pada kepentingan dan keinginan pribadi .
Pernahkah anda membayangkan saat pulang kerumah mendapati orang tua kita sudah terbaring kaku dibungkus dengan kain kafan. Perasaan menyesal terbesit dalam hati karena sebagai anak belum cukup berbakti. Untuk itu tunaikanlah kewajiban kita selagi kedua orang tua masih hidup. Berbuat baiklah pada kedua orang tua.
Berbakti kepada kedua orang tua sering sekali disebutkan dalam Al-Quran, bahkan digandengkan dengan tuntunan menyembah Allah. Hal ini menunjukan bahwa berbakti kepada Kedua orang tua (Ibu – Bapak) adalah wajib. Anak berkewajiban berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang harus ditunaikan semaksimal mungkin. Apalagi jkia sering menyakitinya dengan cara membantah dan berkata kasar pada mereka.

Termasuk durhaka kepada kedua orang tua, adalah menyakitinya dengan tidak mau memberikan hal yang baik kepada keduanya, sesuai dengan kemampuan. Kemudian bagaimanakah kita sebagai anak tega memalingkan muka dan berkata kasar kepadanya.[1]
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, (terutama kepada ibunya), karena ibunyalah yang mengandungnya dengan berbagai susah payah, dan menyapihnya dalam (umur) dua tahun. Oleh karena itu hendaklah kamu bersyukur kepada Ku (hai manusia) dan juga kepada Kedua orang tuamu.” ( QS. Luqman 14 )
Kalau dalam islam menaruh perhatian tentang masalah hak – hak anak yang harus ditunaikan oleh orang tua, misalnya pendidikan, pengajaran, nafkah dan sebagainya, maka dari segi lain Islam juga menaruh perhatian tentang anak – anak harus pula menunaikan kewajiban atas orang tuanya, sebagai penghargaan atas pengorbanan mereka. Sekaligus sebagai pengarahan kaum muslimin untuk dapat mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
Seperti dalam hadits dari Abu Abdulrahman, diceritakan bahwa Abdul Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang pahala yang banyak mendatangkan pahala dari Allah SWT. Maka beliau menjawab, bahwa perbuatan yang sangat banyak mendatangkan pahala ialah shalat tepat pada waktunya, karena dengan shalat tepat pada waktunya itu berarti suatu ketaatan yang continue (ajeg) dan merupakan muraqobah yang optimal (merasa selalu diperhatikan Allah). Selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) sebagai hak mahluk sesudah menunaikan hak Allah.[2]
Dari Abu Abdulrahman, Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: Aku pernah bertanya pada Rasulullah, tentang prbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawab beliau : “yaitu shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Jawab beliau: “berbuat baik kepada orang tua”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: “Jihat fisabilillah”. ( HR. Bukhori dan Muslim – Riyadhush Shalihin 3/315
Berkorban untuk orang tua
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.”
Berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu mencari keridhoanya dengan memberikan penghargaan dan penghormatan dalam batas – batas yang halal, belumlah seberapa kalau dibandingkan dengan pengorbannan orang tua orang tua kepada anak dalam
memberikan asuhan dan pendidikan. Baru seimbang seandainya orang tuanya itu tertawan menjadi budak oleh musuh, kemudian ditebusnya lalu dibebaskanya seperti yang tertera dalam hadits berikut ini :
“Abu Hurairoh menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Belumlah dinamakan seorang anak membalas orang tua, sebelum dia mendapatkan orang tuanya itu tertawan menjadi budak, lalu ia tebusnya kemudian memerdekakanya”. ( HR. Muslim – Riyadhush Shalihin 4/316 )
Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang anak dituntut untuk memberikan pengorbannan yang sebesar-besarnya demi kepentingan orang tua. Dan itulah yang dinamakan “birrul walidain” yang sejati.[3]
Mengutamakan ibu
“Abu Hurairoh juga meriwayatkan, bahwa ada seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW. Untuk menayakan siapakah orang yang lebih patut dilakukan persahabatan dengan baik? Maka jawab Rasulullah SAW. Ibumu. Kemudian ia pun bertanya lagi : lalu siapa lagi? Jawab beliau tetap : Ibumu. Lalu ia bertanya lagi: Lalu siapa lagi: Maka kali ini jawab beliau: Ayahmu” ( HR. Bukhari dan Muslim – Riyadhush Shalihin 9/319 )
Dalam satu riwayat ( bahwa lelaki tersebut bertanya ): Ya Rasulullah, siapakah orang yang lebih patut dilakukan persahabatan dengan baik? Beliau menjawab: Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, dan kemudian bapakmu, dan selanjutnya orang – orang yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.
Dari hadits ini dapat kita ambil bebeapa pelajaran yaitu :

1) Ibu dalam hubungan dengan anak — adalah lebih diutamakan dari pada ayah.
2) Balasan amal (jaza’) sesuai dengan tingkat amalnya.
3) Tertib hak – densarzgan hubungan sesama insan adalah berdasar dekatnya hubungan.

Rasulullah lebih menekakan dan mengutamakan ibu ketimbang ayah dalam kaitanya dengan masalah perlakuan, karena suatu fakta ibulah yang mengandungnya dan yang mengasuhnya. Berarti dialah yang banyak merasakan kepayahan disamping itu, ibu sangatlah dibutuhkan oleh anak – anaknya.
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مِنْ اَلْكَبَائِرِ شَتْمُ اَلرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قِيلَ: وَهَلْ يَسُبُّ اَلرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا اَلرَّجُلِ, فَيَسُبُّ أَبَاهُ, وَيَسُبُّ أُمَّهُ, فَيَسُبُّ أُمَّهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Termasuk dosa besar ialah seseorang memaki orang tuanya.” Ada seseorang bertanya: Adakah seseorang akan memaki orang tuanya. Beliau bersabda: “Ya, ia memaki ayah orang lain, lalu orang lain itu memaki ayahnya dan ia memaki ibu orang lain, lalu orang itu memaki ibunya.” Muttafaq Alaihi”
Sopan Santun Anak kepada Orang Tua
Dan dari Abu Hurairoh, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “ Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orangtunya berusia lanjut, salah satunya atau kedua – duanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk surga” ( HR. Muslim – Syarah Riyadhush Shalihin juz 2 halaman 10/320 )
Dalam hadits ini oleh Rasulullah SAW. diterangkan bahwa keberadaan orang tua yang telah berusia lanjut itu justru kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah dan jembatan emas menuju surga. Karena itu justru rugi besar, orang yang menyia – nyiakan kesempatan yang paling baik ini, sehingga dia mengabaikan hak – hak orang tuanya itu. Hadits ini merupakan penegasan dari ayat yang memerintahkan anak berbakti pada kedua orang tua dan tidak boleh berkata kasar serta kata – kata yang menjengkelkan hati semacam “ah” di saat-saat orang tua berusia lanjut. ( QS. Al-isra’ 23 )
Kemudian dalam suatu riwayat oleh Imam Bukhori dan Muslim Rasulullah menerangkan bahwa hak kedua orang tua itu harus lebih didahulukan dari pada hijrah dan perang, dengan catatan apabila anak tersebut adalah satu – satunya yang mengurus kedua orang tuanya. Waktu itu pmerintah boleh membebaskan kewajiban perang terhadap satu – satunya anak yang orang tuanya tidak lagi mampu berusaha sendiri.
Dalam kitab bidayatul hidayah ( tuntunan mencapai hidayah Allah ) karangan Imam Abu Hamid Al-Ghozali dijelaskan agar kita memperhatikan sopan santun bergaul dengan kedua orang tua, diantaranya ialah :

1.Mendengar ucapan mereka
2. Berdiri ketika mereka berdiri, untuk menghormatinya
3.Menaati semua perintah mereka
4.Tidak berjalan didepan mereka
5.Tidak bersuara lantang kepadanya, atau membentak meskipun dengan kata – kata “hus”
6.Memenuhi panggilanya
7.Bersuara menyenangkan hati mereka
8.Bersikap ramah ( tawadlu’) terhadap mereka
9.Tidak boleh mengungkit kebaikannya yang telah diberikan kepada mereka
10. Tidak boleh melirik kepada mereka atau menyinggung perasaanya
11. Tidak boleh bermuka masam dihadapan mereka
12. Tidak melakukan bepergian kecuali dengan izin mereka

Berbakti pada orang tua yang sudah meninggal
Tak penah bisa kita bayangkan betapa sedihnya saat mendapati ibu atau ayah kita sudah terbaring kaku di depan mata. Padahal kita sering sekali berbuat salah dan durhaka pada ibu, sering berkata kasar pada bapak saat meminta uang. Perasaan menyesal karena belum sempat meminta maaf apalagi berbakti pasti menambah kesedihan . lalu apa yang bisa anak lakukan untuk berbakti pada orang tuanya yang sudah meningggal.
Abi Usaid, Malik bin Rabi’ah as-Sa’idi r.a;. mengatakan ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Tiba – tiba ada seorang lelaki dari bani Salamah menghadap Rasulullah seraya berucap : Ya Rasulullah apakah masih ada kebaikan yang harus saya tunaikan terhadap kedua orang tua ku sepeninggal mereka? Jawab Rasulullah SAW. : Ya, masih ada, yaitu engkau mendoakanya, meminta ampun kepada Allah untuk mereka, melaksanakan janji mereka sesudah mereka itu meninggal dunia, menyambung kekeluargaan dimana kekeluargaan itu tidak akan bisa bersambung melainkan dengan sebab orang tua tersebut dan menghormati kawan – kawan kedua orang tua. ( HR. Abu Daud )
Dari hadist diatas dapat kita ambil pelajaran bahwa setelah orang tua kita meninggal ternyata masih ada yang dapat dilakukan anak untuk berbakti kepada orang tua. Diantaranya :
[1] mendo’akannya
[2] menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] membayarkan hutang-hutangnya
[5] melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
Salah satu cara kita sebagai anak dalam mempraktikan ajaran – ajaran yang ternukil di Al- Quran dan hadits Nabi adalah dengan cara berbakti kebada orang tua. Karena untuk mendapatkan ridho Allah kita harus bisa mendapatkan ridho dari kedua orang tua. Orang tua sudah berkorban banyak untuk membesarkan anaknya . ini harus di balas oleh anaknya dengan cara berbakti kepada orang tua, baik mereka yang masih hidup atupun mereka sudah meninggal dunia. Bahkan tanggung jawab anak sebagai ahli waris justru lebih bertambah setelah orang tuanya meninggal.

ASTAGFIRULLAH,,,

Sahabatku yang di Rahmati Allah,,
Mari hormati Orang tua kita,,,
Sayangi mereka sebagaimana mereka telah menyayangi kita,,
Mohon ampun pada mereka,,,seraya memohon ampun pada Sang Kuasa...

Semoga Allah Mengampuni Dosa-dosa kita atas kedua orang tua kita,,aamiin..

Selasa, 03 Februari 2015

Simaatul Qur'an

Assalamualikum warroh matullahi wabarokatuh
selamat pagi semangat pagi . bagi semua pembaca blog kami, kami ucapkan banyak terima kasih, semoga selalu membawa manfaat bagi semua, berkah bagi semua.
Rasa Syukur Alhamdulillah Allah SWT telah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk hidup lebih lama menghirup udaha di hari2.
Sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw .. karena sebab Nabi muhammad Saw kita hidup di dunia ini ,,, dan juga karena beliau, kita bisa tahu islam yang kaffah ,, semoga kita termasuk dalam lingkup umat nabi Muhammad Saw amin,,
kami atas nama Panti Asuhan Az-Zuhri Mrisi merencanakan ada simaatul qur'an yang akan di selenggarakan insyaAllah satu bulan kedepan, bagi siapapun yang ingin menyertakan saudara. simbah, bapak, ibu atau siapapun . bisa setorkan nama ke kami , insyaallah akan kami sertakan pada saat acara tahlil di panti asuhan kami, mohon sertakan  nama yang lengkap serta bapaknya  semoga niat kami di beri kelancaran oleh Allah SWT Amin